Halaman

Selasa, 20 Desember 2011

Waspadai gemuk pada balita

Sebagian besar orangtua selalu menginginkan mempunyai balita yang sehat dan bertubuh gemuk. Namun, tunggu dulu. Belum tentu balita atau anak yang gemuk itu berarti sehat. Bisa jadi dia mengalami gizi berlebih (obesitas).

Sesuatu yang berlebih itu cenderung tidak baik, termasuk juga gizi. Sejak beberapa waktu lalu, gizi berlebih menjadi masalah serius bagi penduduk Indonesia, dan merupakan ancaman tersembunyi bagi masa depan anak.

Kasus itu bukan saja menimpa golongan berpunya, tetapi juga dialami masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan. Faktor sosial ekonomi ternyata tidak lagi mempengaruhi tingkat kekurangan atau kelebihan gizi pada masyarakat, karena permasalahan gizi lebih juga dialami masyarakat tidak mampu.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, menunjukkan 14% balita mengalami gizi lebih. Pada penduduk kaya prevalensinya mencapai 14,9%, dan pada masyarakat miskin sekitar 12,4%.

Prevalensi balita gemuk paling tinggi terjadi di DKI Jakarta dengan prevalensi rata-rata 19,2%. Berikutnya Sumatra Utara (18,3%), Sulawesi Tenggara (18,1%), Bali (17,5%), Jawa Timur (17,1%), Sumatra Selatan (16,8%), Lampung (16,4%), Aceh (16,2%), Riau (16%), Bengkulu (15,5%), Papua Barat (14,8%), dan Jawa Barat (14,6%).

Sementara pada penduduk usia di atas 18 tahun, prevalensi gizi lebih sebesar 21,7%. Yaitu pada kaum pria terdapat 16,3%, dan kaum perempuan 26,9%.

"Penyebab gizi berlebih ini, antara lain terjadi karena ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan yang keluar," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, pada seminar Gizi lebih, ancaman tersembunyi masa depan anak Indonesia, di Jakarta, pekan lalu.

Menkes menuturkan anak yang lahir dengan berat badan rendah dan pendek lebih berisiko mengalami gizi lebih pada usia dewasa. Bayi yang diberi susu formula memiliki risiko gizi berlebih, akibat asupan energi yang tidak terkendali. Sebab, energi yang masuk berlebihan dibanding kebutuhannya. Selain itu, katanya, perubahan gaya hidup dimana anak kurang melakukan aktivitas fisik, juga menjadi penyebab gizi lebih.

Dampak dari gizi lebih, katanya, tidak sekadar menganggu estetika penampilan. Tapi juga menjadi predisposisi dari berbagai penyakit tidak menular, baik degeneratif maupun kardiovaskuler. Walau prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, namun keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan, belum banyak disadari masyarakat.

Pola makan salah

Minarto, Ketua DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), menuturkan anak yang kekurangan gizi dan kelebihan gizi jumlahnya cukup banyak, baik dari keluarga kaya atau miskin.

"Itu menunjukkan bahwa bukan jumlah asupannya yang salah, tapi pola makannya yang salah, dan juga akibat konsumsi pangan yang tidak sehat. Juga karena pola konsumsi yang tidak seimbang seperti rendah serat, tinggi garam, tinggi gula dan lemak," ujarnya.

Gizi seimbang, katanya, menggambarkan susunan makanan dan minuman yang jenis maupun jumlahnya menjamin kebutuhan tenaga, sumber pertumbuhan dan pemeliharaan untuk mencapai status kesehatan optimal. Jenisnya terdiri dari bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (4 sehat, 5 sempurna).

Dia menyebutkan gizi lebih atau gemuk, terjadi akibat penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Ketidakseimbangan asupan energi dan total energi yang dikeluarkan, membuat kelebihan lemak disimpan dalam jaringan diaposa, itu menyebabkan obesitas.

Berdasarkan Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan, konsumsi minyak dan lemak telah melebihi batas maksimal yaitu 114%. Konsumsi nasi juga berlebih hingga 118,5%. Inilah yang mengakibatkan anak-anak cenderung tumbuh pendek dan gemuk.

Dokter Saptawati Bardosono dari Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, menuturkan obesitas pada anak, juga disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor budaya, dan pola hidup.

Berdasarkan penelitan yang mengamati pola hidup anak, lebih dari 40% anak mengalami kelebihan kalori, dan 80% anak mengalami kelebihan protein. Semua ini karena kebiasaan mengonsumsi susu manis secara berlebihan. "Gula yang dikonsumsi anak tidak hanya dari laktosa, tapi juga dari gula tambahan," ujarnya.

Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, menuturkan obesitas pada anak bisa berdampak negatif bagi fisik dan psikologis. Dampak fisik adalah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan tidur, gangguan saraf, risiko diabetes, dan penyakit sendi.

Sementara itu dampak obesitas pada psikologis anak, ujarnya, adalah depresi, kepercayaan diri rendah, dan melakukan diet berlebih. "Ini terjadi karena anak merasa tidak percaya diri dan berbeda dengan anak lainnya, sehingga dia ingin kurus dengan diet yang salah," ungkapnya.

Menkes Endang menambahkan bahwa gizi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan balita. Kenaikan berat badan anak dipengaruhi asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.

Salah satu hal yang sering terjadi adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula yang tinggi sejak kecil, padahal mekanisme gula dapat meningkatkan risiko obesitas. Kebiasaan tersebut, ujarnya, tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang memadai.

Dia menuturkan saat ini kecendrungan perubahan gaya hidup anak, menjurus pada penurunan aktivitas fisik, seperti ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktivitas bermain, serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah. Akibatnya anak lebih suka bermain game atau duduk menonton TV.

Menurut Endang, salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mengatasi gizi lebih ini, adalah melalui pengaturan asupan gizi sejak dini pada anak. Selain itu meningkatkan aktivitas fisik dan modifikasi pola hidup. (znd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar